DEBAT MENURUT ISLAM
Oleh : Rizki Sopiyandi
Dakwah adalah suatu kewajiban yang telah Allah pesankan pada seluruh
manusia. Tidak terbagi apakah dia laki-laki ataupun perempuan.
Dakwah juga tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Dakwah juga tidak
dibatasi oleh wasilah yang digunakan untuk menyampaikan seruan
Allah. Dakwah adalah kewajiban mulia yang dijalankan oleh para Nabi
dan Rasul, lalu dilanjutkan oleh para pewarisnya dari kalangan para
ulama dan kaum muslim semuanya.
Salah satunya adalah metode dakwah yang disebut dengan debat (jidal),
yang tak lain adalah suatu cara untuk berdakwah dan itu diperbolehkan
Allah swt, sebagaimana yang disampaikan-Nya dalam al-Qur’an,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS
an-Nahl [16]: 125)
Selain memperbolehkan wasilah debat atau diskusi ini, Allah dan rasul-
Nya pun telah menentukan aturan-aturan dalam melakukan debat ini.
Secara garis besar anjuran debat dalam Islam ini adalah :
1. Debat dilakukan dalam tataran ide yang sedang diperdebatkan
Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-
argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang
jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu
kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua
sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan
argumentasi-argumentasi. Di antara teladan cara debat yang diajarkan
al-Quran adalah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang
itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku
ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya
dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya
Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari
barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; (QS al-Baqarah [2]: 258)
2. Debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan) sebagaimana yang
diperintahkan Allah
Maksudnya dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Bukan berpatokan pada “pokok”nya, atau
“kata”nya, ataupun dengan akal pikiran. Kalaupun menggunakan akal,
maka haruslah dengan menggunakan pemikiran yang rasional, bukan
persangkaan ataupun filsafat.
“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah
berkata baik atau lebih baik diam” (HR. Bukhari Muslim)
“Amma ba’du: ‘sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah
kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)”
3. Menghindari berkata yang buruk, keji, mencaci atau memaki individu
Ketika berdebat, kita benar-benar harus mengingat bahwa yang kita
debat adalah ide yang disampaikan, bukan individu yang menyampaikan,
sehingga kita tidak boleh menyerang secara individual dan
menggunakan kata-kata yang tidak mencerminkan keimanan kepada
Allah. “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan
berkata-kata keji” (HR. Tirmidzi)
4. Tidak mencari-cari perdebatan atau senang dengan perdebatan
Al-Qur’an telah menjadikan debat sebagai salah satu cara dalam
menyampaikan kebenaran Islam, tapi bukan berarti al-Qur’an
memerintahkan kita untuk senang dalam berdebat atau mencari-cari
perdebatan. Seorang mukmin seharusnya memahami bahwa perdebatan
adalah salah satu bagian dari dakwah dan jalan terakhir dalam dakwah,
bukan malah mengawali dakwah dengan perdebatan.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar” (QS al-Anfaal [8]: 46)
5. Perhatikan siapa yang menjadi partner debat/diskusi
Pertama-tama kali yang harus diperhatikan adalah siapa partner debat
atau diskusi kita, karena partner debat/diskusi seharusnya seseorang
yang memang menginginkan dan mencari kebenaran, bukan hanya
menyenangi debat atau menjadikan debat untuk memperolok-olok
agama Islam.
“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk,
melainkan karena mereka suka berdebat” Kemudian Rasulullah saw
membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar. [QS Az-Zukhruf [43]: 58]” (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad)
Selain itu, tidak semua manusia yang diseru dengan ayat-ayat al-
Qur’an akan bertambah keimanannya, Allah memperingatkan bahwa ada
juga yang justru bertambah kekafirannya ketika dibacakan ayat-ayat
Allah. Maka ayat Allah tidak layak dibacakan untuk orang setipe ini.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya
(yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS at-Taubah
[9]: 125)
Dan bila sudah kita pastikan bahwa partner diskusi kita adalah
termasuk orang munafik ataupun kafir yang memang bukan mencari
kebenaran dalam debat dan diskusi, maka segeralah meninggalkan
orang yang semacam ini lalu beristighfar pada Allah karena kita telah
melakukan hal yang tidak bermanfaat.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat
Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang
lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (QS al-An’am [6]: 68)
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam
Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-
orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” ( QS an-
Nisaa [4]: 140)
Maksud “duduk bersama/beserta” adalah berada dalam suatu forum,
sehingga seolah-olah dengan adanya kita disitu menjadi legitimasi
dalam proses memperolok ayat-ayat Allah.
Imam asy-Syafi’i sendiri berkata perihal berdebat dengan orang
semacam ini; “Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan
setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu”. Sedangkan
Imam Malik berkata; “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu
jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak
mentaati ilmu itu”.Dan al-Auza’i juga menyampaikan; “Jika Allah
menginginkan kejelekan pada satu kaum, maka Allah akan membuka
atas mereka jidal, dan menghalangi mereka dari beramal.”
6. Perhatikan apa yang akan diperdebatkan/didiskusikan
Seorang mukmin tidak akan menceburkan dirinya dalam perkara-
perkara yang seharusnya tidak didiskusikan, dalam perkara yang tidak
bermanfaat, dan juga dalam perkara-perkara yang tidak akan
meningkatkan keimanan ketika mendebat/mendiskusikannya.
Dalam berdiskusi, kita hanya boleh membahas hal-hal yang telah Allah
perbolehkan untuk mendiskusikannya, dan menjauhi perkara yang telah
dilarang atau dimakruhkan untuk mendiskusikannya. Termasuk perkara
ini adalah mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya.
“dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan
Yang Maha keras siksa-Nya.”(QS ar-Ra’du [13]: 13)
Sumber : rizqisme dot wordpress dot com
Oleh : Rizki Sopiyandi
Dakwah adalah suatu kewajiban yang telah Allah pesankan pada seluruh
manusia. Tidak terbagi apakah dia laki-laki ataupun perempuan.
Dakwah juga tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Dakwah juga tidak
dibatasi oleh wasilah yang digunakan untuk menyampaikan seruan
Allah. Dakwah adalah kewajiban mulia yang dijalankan oleh para Nabi
dan Rasul, lalu dilanjutkan oleh para pewarisnya dari kalangan para
ulama dan kaum muslim semuanya.
Salah satunya adalah metode dakwah yang disebut dengan debat (jidal),
yang tak lain adalah suatu cara untuk berdakwah dan itu diperbolehkan
Allah swt, sebagaimana yang disampaikan-Nya dalam al-Qur’an,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS
an-Nahl [16]: 125)
Selain memperbolehkan wasilah debat atau diskusi ini, Allah dan rasul-
Nya pun telah menentukan aturan-aturan dalam melakukan debat ini.
Secara garis besar anjuran debat dalam Islam ini adalah :
1. Debat dilakukan dalam tataran ide yang sedang diperdebatkan
Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-
argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang
jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu
kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua
sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan
argumentasi-argumentasi. Di antara teladan cara debat yang diajarkan
al-Quran adalah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang
itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku
ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya
dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya
Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari
barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; (QS al-Baqarah [2]: 258)
2. Debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan) sebagaimana yang
diperintahkan Allah
Maksudnya dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Bukan berpatokan pada “pokok”nya, atau
“kata”nya, ataupun dengan akal pikiran. Kalaupun menggunakan akal,
maka haruslah dengan menggunakan pemikiran yang rasional, bukan
persangkaan ataupun filsafat.
“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah
berkata baik atau lebih baik diam” (HR. Bukhari Muslim)
“Amma ba’du: ‘sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah
kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)”
3. Menghindari berkata yang buruk, keji, mencaci atau memaki individu
Ketika berdebat, kita benar-benar harus mengingat bahwa yang kita
debat adalah ide yang disampaikan, bukan individu yang menyampaikan,
sehingga kita tidak boleh menyerang secara individual dan
menggunakan kata-kata yang tidak mencerminkan keimanan kepada
Allah. “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan
berkata-kata keji” (HR. Tirmidzi)
4. Tidak mencari-cari perdebatan atau senang dengan perdebatan
Al-Qur’an telah menjadikan debat sebagai salah satu cara dalam
menyampaikan kebenaran Islam, tapi bukan berarti al-Qur’an
memerintahkan kita untuk senang dalam berdebat atau mencari-cari
perdebatan. Seorang mukmin seharusnya memahami bahwa perdebatan
adalah salah satu bagian dari dakwah dan jalan terakhir dalam dakwah,
bukan malah mengawali dakwah dengan perdebatan.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar” (QS al-Anfaal [8]: 46)
5. Perhatikan siapa yang menjadi partner debat/diskusi
Pertama-tama kali yang harus diperhatikan adalah siapa partner debat
atau diskusi kita, karena partner debat/diskusi seharusnya seseorang
yang memang menginginkan dan mencari kebenaran, bukan hanya
menyenangi debat atau menjadikan debat untuk memperolok-olok
agama Islam.
“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk,
melainkan karena mereka suka berdebat” Kemudian Rasulullah saw
membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar. [QS Az-Zukhruf [43]: 58]” (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad)
Selain itu, tidak semua manusia yang diseru dengan ayat-ayat al-
Qur’an akan bertambah keimanannya, Allah memperingatkan bahwa ada
juga yang justru bertambah kekafirannya ketika dibacakan ayat-ayat
Allah. Maka ayat Allah tidak layak dibacakan untuk orang setipe ini.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya
(yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS at-Taubah
[9]: 125)
Dan bila sudah kita pastikan bahwa partner diskusi kita adalah
termasuk orang munafik ataupun kafir yang memang bukan mencari
kebenaran dalam debat dan diskusi, maka segeralah meninggalkan
orang yang semacam ini lalu beristighfar pada Allah karena kita telah
melakukan hal yang tidak bermanfaat.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat
Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang
lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (QS al-An’am [6]: 68)
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam
Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-
orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” ( QS an-
Nisaa [4]: 140)
Maksud “duduk bersama/beserta” adalah berada dalam suatu forum,
sehingga seolah-olah dengan adanya kita disitu menjadi legitimasi
dalam proses memperolok ayat-ayat Allah.
Imam asy-Syafi’i sendiri berkata perihal berdebat dengan orang
semacam ini; “Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan
setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu”. Sedangkan
Imam Malik berkata; “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu
jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak
mentaati ilmu itu”.Dan al-Auza’i juga menyampaikan; “Jika Allah
menginginkan kejelekan pada satu kaum, maka Allah akan membuka
atas mereka jidal, dan menghalangi mereka dari beramal.”
6. Perhatikan apa yang akan diperdebatkan/didiskusikan
Seorang mukmin tidak akan menceburkan dirinya dalam perkara-
perkara yang seharusnya tidak didiskusikan, dalam perkara yang tidak
bermanfaat, dan juga dalam perkara-perkara yang tidak akan
meningkatkan keimanan ketika mendebat/mendiskusikannya.
Dalam berdiskusi, kita hanya boleh membahas hal-hal yang telah Allah
perbolehkan untuk mendiskusikannya, dan menjauhi perkara yang telah
dilarang atau dimakruhkan untuk mendiskusikannya. Termasuk perkara
ini adalah mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya.
“dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan
Yang Maha keras siksa-Nya.”(QS ar-Ra’du [13]: 13)
Sumber : rizqisme dot wordpress dot com
0 komentar:
Post a Comment
Salam hangat....
Komentar anda adalah tanda jabat erat persahabatan di antara kita.