Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kenali Gejala DEPRESI

Written By Unknown on Monday, August 16, 2010 | 8/16/2010 04:14:00 PM

Berbagai keluhan fisik yang dialami seseorang kemungkinan merupakan akibat depresi. Sayangnya, hal itu jarang disadari penderitanya. Mereka umumnya datang ke dokter dengan keluhan kelelahan, insomnia, nyeri, gejala sakit maag atau gejala fisik lainnya. Depresi merupakan fluktuasi emosi yang bersifat dinamik, mengikuti suasana perasaan internal dan eksternal individu. Data Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, pada tahun 2020 depresi akan jadi beban global
sebagai penyakit kedua di dunia setelah jantung iskemik. Prevalensi depresi diperkirakan 5 persen hingga 10 persen per
tahun, sedangkan prevalensi depresi pada wanita dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan pria. 

Penderita depresi umumnya memiliki gejala klinis berupa kehilangan minat, menarik diri dari aktivitas sehari-hari, pemurung, kelelahan,nafsu makan hilang atau malah berlebihan, sulit konsentrasi, ingin bunuh diri. Penderita juga mudah tersinggung,merasa bersalah, tak berharga, dan pesimistis. Sebanyak 50 persen hingga 69 persen pasien depresi mengeluhkan gejala somatik, seperti pusing, mual, keluhan lambung, saluran napas, dan nyeri tak jelas sumbernya

Karena itu, perlu diwaspadai gejala-gejala depresi seperti fatique / kelelahan, insomnia / kesulitan tidur, sesak napas, nyeri punggung, diare, dan sakit kepala. Pasien juga bisa menderita nyeri dada, gangguan seksual, nyeri pinggang, dan gangguan sistem saraf otonom. Gejala depresi dapat memburuk, mengganggu perilaku sehari-hari, dan muncul bersama penyakit lain.

Penyakit fisik yang menyertai depresi itu, antara lain, penyakit paru kronik, gangguan neurologik, gangguan pencernaan,kanker, pascastroke, diabetes mellitus, jantung koroner, dan parkinson. Depresi dan penyakit fisik ini muncul bersamaan, tetapi sebagai penyakit yang tidak ada hubungannya sama sekali. Depresi muncul dua sampai sepuluh kali lebih tinggi pada keturunan pertama dibandingkan kontrol normal, dan pada keturunan kedua menurun tajam. Depresi juga bisa terjadi pada saudara kandung maupun saudara kembar. Faktor biologis pemicu depresi adalah serotonin, norepinephrin, dan dopamine. Tekanan lingkungan bisa memicu depresi kepada seseorang, seperti putus cinta, pola asuh penuh keharusan, terisolasi dari pergaulan sosial, perubahan hidup yang besar, dan kesulitan keuangan.

Depresi mudah menyerang orang dengan kepribadian mudah khawatir, harga diri kurang, sensitif, mengkritik diri sendiri, pemalu, tidak asertif, dan perfeksionis. Pada perempuan, faktor hormonal ikut mendorong terjadinya depresi. Hal ini umumnya terjadi saat siklus haid, kehamilan atau pasca persalinan, dan menjelang menopause. Kaum perempuan di perkotaan rentan terkena depresi dibandingkan dengan pria karena menanggung beban ganda. Mereka harus bekerja dan dituntut dapat mengurus rumah tangga dengan baik.

Banyak penderita depresi kurang mendapat pengobatan. Sebab, pasien umumnya kurang mengenali gejala depresi, perhatian penyakit cenderung pada keluhan somatik atau fisik, kurang paham akibat buruk depresi yang tidak diobati, terbatasnya pelayanan kesehatan, dan adanya stigma. Sementara tenaga kesehatan kurang mendapat pengetahuan tentang depresi dan pengobatannya, kurang menguasai keterampilan interpersonal menghadapi gangguan emosi, sulit mendiagnosis depresi. Sistem penggantian asuransi untuk gangguan mental masih belum berjalan dengan baik.

Ada sejumlah pilihan terapi bagi penderita, yakni farmakoterapi, psikoterapi, atau konseling dan electroconvulsive therapy (ECT).

Farmakoterapi kadang kurang efektif sebab 52 persen dari dokter umum memakai dosis lebih rendah dari yang dianjurkan. Sekitar 40 persen dari dokter umum dan tujuh persen dari psikiater meresepkan dalam jangka waktu lebih pendek dari rekomendasi periode terapi berkelanjutan minimum. Terapi rumatan dengan menggunakan obat antidepresi bisa mengurangi mengurangi risiko kambuhnya gangguan depresi. Hal ini harus disertai dengan terapi berkelanjutan dengan antidepresan untuk mengurangi kemungkinan kekambuhan hingga 70 persen dibandingkan penderita yang menghentikan pemberian obatnya. Obat antidepresan dinilai efektif karena bekerja lebih baik dan cepat daripada nonpsikofarmaka. Syaratnya, pengobatan harus dipatuhi dengan ketat. Kesalahan yang lazim terjadi adalah tidak memantau hasil pengobatan, efek samping dan ketaatan berobat, dosis tidak cukup, terlalu cepat menghentikan, dan tidak memberi edukasi kepada pasien dan keluarganya," ujar Danardi.

Bagi pasien depresi yang resistan terhadap pengobatan yang standar dan terapi kejut, dalam majalah Newsweek disebutkan kini ada metode non-invasif bernama repetitive transcranial magnetic stimulation (RTMS). Terapi ini merupakan metode non invasif untuk membangkitkan sel-sel saraf pada otak dengan cepat melalui gelombang elektromagnetik yang lemah. RTMS juga merupakan alat untuk meneliti bagaimana fungsi otak. Dalam suatu studi baru-baru ini, 45 persen dari pasien yang diberi RTMS mengalami keringanan sedikitnya separuh dari gejala depresi, sementara 31 persen pasien benar-benar hilang gejala depresinya setelah sembilan minggu menjalani RTMS. Sejauh ini, RTMS siap digunakan di Kanada, Australia, Selandia Baru, Israel, dan Uni Eropa. Pada awal tahun 2007, Pemerintah Amerika Serikat kemungkinan mengeluarkan aturan tentang RTMS sebagai penanganan depresi. Namun, penggunaan RTMS ini butuh penelitian lebih lanjut, terutama bagaimana sebaiknya pemakaian RTMS kepada pasien depresi jika digabungkan dengan antidepresan dan ECT. Sebab, hingga kini belum ada data yang konsisten karena tak ada panduan pelaksanaannya dan keterbatasan penelitian yang dilakukan.

Selain mengikuti berbagai terapi itu, penderita dianjurkan melakukan aktivitas positif, menetapkan target harian yang ringan dan dapat dicapai untuk melakukan aktivitas menyenangkan, merencanakan hal-hal yang akan dilakukan. Cobalah berkumpul bersama orang lain atau anggota keluarga untuk berbagi rasa.

Keterlibatan keluarga penting dalam penyembuhan pasien. Karena itu, keluarga perlu mendapat informasi tentang perjalanan penyakit, hasil diagnosis, dan rencana terapi. Keluarga diharapkan bisa ikut membantu mengenali keluhan fisik akibat depresi, mengawasi kondisi pasien, dan memotivasinya untuk sembuh.

Sumber : http://www.badungkab.go.id/

==============================================
Mau SWAKONSUMSI PULSA MURAH klik di sini !
Mau BONUS PULSA GRATIS klik di sini !
==============================================

0 komentar:

Post a Comment

Salam hangat....
Komentar anda adalah tanda jabat erat persahabatan di antara kita.