Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Mendidik Anak Jauh Sebelum Lahir

Written By Unknown on Friday, May 25, 2012 | 5/25/2012 02:58:00 PM

Mendidik Anak Jauh Sebelum Lahir

Beri aku 10 orang pemuda, maka akan aku goncangkan dunia! Begitulah kalimat bombastis yang pernah diucapkan oleh Bapak Proklamator Republik Indonesia. Tentu ini merupakan sebuah gambaran bahwa masa depan bangsa terletak di pundak pemuda. Kalimat ini pula sering digaungkan oleh para aktivis pergerakan. Mereka melabeli diri sebagai pemuda yang bisa menggoncangkan dunia.

Tentu saja yang dimaksud Bung Karno bukanlah pemuda sembarangan yang bisa menggoncangkan dunia. Pemuda yang setiap hari hanya bisa memeluk lutut, bermalas-malasan, atau sering bertindak anarkis. Pemuda seperti ini tentu bukan tergolong pemuda yang bisa menggoncangkan dunia seperti yang dimaksud Bung Karno. Barangkali betul mereka bisa menggoncangkan dunia, tetapi goncangan yang terjadi lebih ke arah destruktif, bukan konstruktif. Naudzubillah.


Maka, menyiapkan pemuda yang bisa menggoncangkan dunia ke arah yang konstruktif bukan pekerjaan yang mudah. Bukan pula sesuatu yang instan. Mencetak pemuda-pemuda tangguh adalah sebuah proses yang mesti dijalani seorang ayah dan ibu, bahkan calon ayah dan ibu.


Di tangan orangtualah seorang anak akan menjelma menjadi pemuda yang berkontribusi positif untuk umat, atau justru sebaliknya. Makanya, menurut Ustad Tauhid Nur Azhar, orangtua atau calon orangtua harus sudah merencanakan pendidikan anaknya jauh sebelum anak itu lahir. “Dalilnya, setiap lelaki yang baik akan disediakan jodoh yang baik, demikian pula sebaliknya,” kata Ustad Tauhid.

Dengan dalil ini, maka merencanakan pendidikan anak dan mencetak pemuda yang bisa menggoncangkan dunia ke arah yang konstruktif harus dimulai ketika seorang lelaki memilih seorang perempuan untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Mengapa? “Secara genetika, ada keistimewaan tertentu dari seorang ibu dalam hal pewarisan sifat pada anaknya.



Ibu mewariskan baik DNA inti maupun DNA mitokondria. Sedangkan, ayah hanya mewariskan DNA inti. DNA mitokondrialah yang bertanggung jawab dalam proses respirasi, metabolism, dan produksi energi,” ujar Ustad Tauhid yang juga seorang pakar kesehatan dan penulis beberapa buku ini.

Mencari jodoh yang baik adalah syarat awal untuk mendapatkan keturunan yang baik. Dari sinilah, proses mendidik anak sebenarnya sudah dimulai. Memperbaiki diri dan berupaya mendapatkan jodoh yang baik adalah tahap pertama dalam mencetak generasi yang hebat dan kelak akan menjayakan umat.



Mengapa memperbaiki diri dan mencari jodoh yang baik termasuk ke dalam tahap pertama mendidik anak? Ustad Tauhid memaparkan bahwa beberapa penelitian sudah menunjukkan, pribadi yang gemar melampaui batas, berkeluh kesah, serta kufur nikmat akan menunjukkan tingkat ekspresi gen yang terkonotasi dengan sikap reaktif emosional ataupun fatalis yang condong menjadi depresif.


Maka, idealnya calon suami dan istri yang baik adalah mereka yang telah mengoptimalkan kemuliaan dirinya melalui serangkaian proses pembelajaran. Proses ini menjamin bahwa pola-pola kecenderungan pengekspresian gen yang baik akan menjadi cetak biru si anak yang akan dikandung kelak. Wa fi anfusikum afala tubhsirun. “Konsep ini dalam ilmu biologi molekuler dan psikogenomik disebut sebagai epigenetik,” ujar Ustad Tauhid.

Ketika calon ayah dan calon ibu menikah, lalu terjadi proses pembuahan sel ovum oleh sel sperma, selanjutnya dalam kurun waktu 9 bulan 10 hari (atau 40 minggu), tahap kedua dalam mendidik anak sudah berlangsung. Seorang ibu yang sabar, kaffah, ikhlas, dan tawakal dalam kehamilannya adalah ibu yang cerdas sekaligus akan memiliki anak yang cerdas juga.



Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang stres atau gundah gulana dalam proses kehamilannya, kadar kortisolnya tinggi serta tidak berimbang kadar hormonnya. Akibatnya, anak akan mengalami berbagai kondisi yang tidak diinginkan. Seperti gangguan kognitif, disorientasi seksual, gangguan perilaku, dan kesulitan belajar.


Makanya, membiasakan banyak bertasbih, shalat malam, tahsin, murotal, akan sangat baik bagi pendidikan dalam rahim. “Saat mudghah telah berada di tempat yang kokoh, terciptalah hubungan struktural dan fungsional melalui jaringan ibu dan janin. Adanya plasenta dan tali pusatnya serta placental blood barrier memastikan bahwa sudah pasti terdapat biological exchange antara ibu dan janinnya,” kata Ustad Tauhid.

Selanjutnya, pola perilaku dan kebiasaan ibu serta ayah juga akan berdampak pada janin dalam rahim. Sikap ayah yang tak peduli atau pemarah akan memengaruhi ibu dan mengakibatkan perubahan di aksis HPA, hipotalamus, pituitary, dan adrenal yang akan berdampak sistemik pada anak. Habbit ibu yang gemar belajar akan merangsang anak mengembangkan area-area otak pembelajarnya melalui zat pertumbuhan dan hormon ibu. Jadi, ibu bisa menjadi semacam peta bagi pertumbuhan anaknya.


Proses melahirkan adalah “wisuda” pertama bagi seorang anak dan juga ibunya. Ibu ketika berjuang mengeluarkan bayi mendapat hadiah berupa banjir hormon oksitonin yang memenuhi reseptor-reseptor cintanya, demikian juga anak. “Maka, hubungan ibu dan anak adalah hubungan cinta yang memiliki sejarah biologis khusus.”


Pada usia batita, sentuhan, kehangatan, kehadiran, dan air susu adalah infrastruktur pendidikan utama. Gen GUSI alfa 1 yang merupakan penyandi reseptor dopamin yang mengatur mood dan perilaku akan terganggu jika anak kehilangan faktor-faktor yang disebutkan tadi. Anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang destruktif, perusak tanpa alasan yang dapat diterima. Berbeda dengan agresif, merusak tapi memiliki motif dan alasan khusus.


Dari beberapa uraian tadi, singkatnya, mendidik anak yang ideal sebenarnya adalah dengan meletakkan fondasinya pada tuntunan Al-Quran dan hadits agar kita paham sepenuhnya kriteria manusia yang dituju dalam koridor Islam. Dengan mengembalikan konsep mendidik anak berlandaskan Al-Quran dan hadits, kita akan memandang anak sesuai dengan potensi fitrahnya. 

Fitrah inilah yang kita kembangkan, bagaimana DNA-nya, bagaimana otaknya, bagaimana sistem motoriknya, bagaimana kecerdasan sosialnya sebagai tempat termaktubnya kemampuan komunikasi dan berempati.


Lalu, kalau mendidik anak mesti dilandasi oleh Al-Quran dan hadits, lantas bagaimana dengan konsep parenting yang dikembangkan oleh Barat.
Apakah boleh kita mengadopsinya? “Selama mengandung nilai-nilai kebenaran universal, metode mendidik anak dari Barat bisa dijadikan acuan. Dengan catatan, prioritaskan dulu rujukan utamanya, Al-Quran dan hadits.” Satu kelemahan dari metode parenting sekuler, kata Ustad Tauhid, adalah kecenderungan untuk menempatkan anak hanya sebagai biomaterial yang cukup tumbuh dengan pupuk psikologis dan biologis.

Nah, ternyata mendidik anak memang tidak bisa instan, bukan pula dadakan. Namun, mesti disiapkan jauh sebelum anak itu lahir, bahkan sejak calon orangtua masih lajang, dan dilakukan secara terus-menerus.


Semoga, kita sebagai orangtua atau calon orangtua diberi kekuatan untuk mendidik anak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan hadits sehingga akan lahir generasi penerus Islam yang dapat mengguncang dunia ke arah yang jauh lebih baik. Amin.



Sumber : http://www.percikaniman.org/category/artikel-islam/mendidik-anak-jauh-sebelum-lahir

0 komentar:

Post a Comment

Salam hangat....
Komentar anda adalah tanda jabat erat persahabatan di antara kita.