Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Keluarga Sakinah, Modal Untuk Reuni Di Surga [Bagian-1]

Written By Unknown on Thursday, July 26, 2012 | 7/26/2012 02:45:00 PM

Keluarga Sakinah, Modal Untuk Reuni Di Surga [Bagian-1]

Oleh: Shalih Hasyim


MAHA SUCI Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Berjenis laki-laki dan perempuan. Ada kutub positif dan kutub negatif. Ada siang dan malam. Suka dan duka. Sedih dan gembira. Jika bisa dikelola dengan baik, perputaran dan pergiliran dua keadaan yang saling kontradiktif, kehidupan manusia menjadi dinamis dan romantis.

Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).

Mitsaqan Ghalizha


Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta -  tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.



Diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala bumi dengan segala yang ada di atasnya – samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara – untuk kebahagiaan manusia. Diedarkan Allah Subhanahu Wata’ala mentari, rembulan, gugusan bintang-gemintang, dijatuhkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman, semua karunia itu untuk kebahagiaan manusia.


Tetapi, Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Mengetahui memberikan lebih daripada itu. Diketahui-Nya getar dada kerinduan hati. Yaitu bersanding sehidup semati dengan si jantung hati. Betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata yang diucapkan, melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan, yang bersedia menerima segala perasaan – tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, pada saat kita diharu biru, diempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati – tanpa pura-pura, prasamgka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih.


Supaya hubungan antara pencinta dan kekasihnya itu menyuburkan ketentraman, cinta, dan kasih sayang, Allah Subhanahu Wata’ala menetapkan suatu ikatan suci, yaitu aqad nikah. Dengan ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan) terjadilah perubahan besar: yang haram menjadi halal, yang masiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Nafsu pun berubah menjadi cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dan ulfah (hubungan yang jinak).


Begitu besarnya perubahan itu sehingga Al Quran menyebut aqad nikah sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat). Hanya tiga kali kata ini disebut di dalam Al Quran.


Pertama, ketika Allah Subhanahu Wata’ala membuat perjanjian dengan para Nabi – Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw.

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: Al Ahzab (33): 7).

Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala



“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina karena (mengingkari) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: An Nisa (4) : 154).

Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

Mitsaqan ghalizha
berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan maksiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.



Pernikahan juga bermakna sepakat meniti hari demi hari dengan kebersamaan. Sepakat untuk saling melindungi dan menjaga. Saling memberikan rasa aman. Saling mempercayai dan menutup aib. Saling mencurahkan dan menerima keluhan dan perasaan. Saling berlomba dalam beramal. Saling memaafkan kesalahan. Saling menyimpan dendam dan amarah.

Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan fisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan. 

Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil

Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.

Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.

Bila perjanjian ini disia-siakan, diceraikan ikatan tali hubungan yang sudah terbuhul, diputuskan janji setia yang telah terpatri, kita tidak saja harus bertanggung jawab kepada semua yang hadir menyaksikan peristiwa yang berkesan itu, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.

“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).

Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).

Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?

Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?



Jawabannya sederhana: Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang dicintai mereka, yakni dengan keluarganya. Bila di dunia ini ada surga, kata Marie von Ebner Eschenbach, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, bila di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal. Para psikolog menyebutkan persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.


Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh kaum muslimin. Ribuan tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu ummat islam yang pertama, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah perpisahan.

“Wahai manusia, takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah Subhanahu Wata’ala. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah Subhanahu Wata’ala. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi).*



Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/22765/22/05/2012/keluarga-sakinah,-modal-untuk-reuni-di-surga-%5B1%5D.html


Customer Relation PKPU Bandung
Jl. Gatot Subroto No. 46 B Bandung
Telp. 022-7316764 Hotline 022-76300200
SMS Centre 0812 204 8454
Twitter : @PKPU_Bandung
7/26/2012 02:45:00 PM | 0 komentar | Read More

Semua Terpulang Ke Diri Sendiri

Written By Unknown on Friday, July 20, 2012 | 7/20/2012 03:03:00 PM


Hidup adalah tentang menyadari kehadiran. Fenomena kehidupan dihadirkan kepada kita lewat pintu-pintu panca indera. Lalu dengan segala cara pemaknaan, kita mengubah kehadiran menjadi kenyataan. Siapapun kita, tentu berharap apa yang hadir dapat kita maknai sebagai keindahan, kebaikan, dan kebenaran menurut keyakinan kita. Dan jika semuanya terintegrasi dan selaras, kita menyebut kenyataan hidup kita sebagai hidup yang indah, baik, dan benar.

Mengapakah, bertemu dengan duri di tengah jalan dan lalu menyingkirkannya kita diimbali pahala? Bukankah kita bisa melewatinya tanpa menginjaknya dan lalu melupakannya? Sudah selesaikan urusan kita? Karena dengan melihatnya saja kita telah menghadirkannya ke dalam kehidupan. Lalu, pemaknaan kita memproyeksikan bagaimana orang lain yang mungkin tidak melihatnya tanpa sengaja menginjaknya dan menjadi celaka.

Cerdasnya akal dan pikiran kita memproyeksikan kemungkinan kenyataan buruk yang akan terjadi. Sekalipun itu terjadi pada orang lain, bayangan itu saja sudah menjadi sesuatu yang tidak indah, tak baik, dan tak benar sesuai keyakinan kita. Menyingkirkannya demi orang lain, bukanlah untuk orang lain, tapi untuk keindahan kenyataan hidup kita sendiri yang tak ingin mendengar kabar si Fulan menginjak duri. Artinya, kita telah berupaya mengindahkan, membaikkan, dan membenarkan apa yang akan menjadi isi dari kenyataan hidup kita.

Kita ingat, kita diajari tentang “kalimat yang baik”. Mendengar musibah ber-innalillahi. Melakukan kesalahan ber-istighfar. Mendapat nikmat bersyukur. Merasa dengki meminta ampun. Melihat kedahsyataan ber-Masya Allah. Mencium bau busuk begitu juga. Hanya dengan mendengar, melihat, merasakan, mencium, dan dengan segala cara lain untuk bereaksi terhadap kehadiran yang mungkin ada, kita telah mendatangkan berbagai bentuk potensi kenyataan kehidupan. “Kalimat yang baik” adalah cara pemaknaan terbaik yang dapat kita lakukan dengan mengingat Yang Maha Menghadirkan. Sekali lagi, kita mencoba mengindahkan, membaikkan, dan membenarkan hidup kita.

Itu sebabnya (maaf saya harus mengatakan ini), terkait pesawat Sukhoi yang kemarin jatuh itu, setiap kita punya porsi tanggungjawab tentangnya. Kok bisa? Ya, sebab dengan hanya melihat di televisi, membaca di koran, atau mendengar dari radio saja, kita telah menghadirkan berita buruk itu ke dalam hidup kita. Sekalipun hanya berita, keburukan adalah keburukan. Maka sekali lagi, “kalimat yang baik”, perasaan yang tepat serta proporsional, dan tindakan yang benar, adalah reaksi yang tepat demi tetap menjadikannya kenyataan hidup yang bermakna. Dan tanggungjawab itu, adalah tanggungjawab kita atas indah, baik, dan benarnya kenyataan hidup kita sendiri.

Itu sebabnya mereka yang bijak mengatakan, yang baik atau yang buruk, tentang pikiran, perasaan, dan perbuatan kita, tak pernah mengenai orang lain dan selalu terpulang kepada diri sendiri.
Si Fulanah mengalami musibah penjambretan. Benar bahwa dia berhak untuk bereaksi dengan membalas setimpal. Membalas setimpal adalah menegakkan keadilan, itu indah, baik, dan benar. Membalas melebihi porsinya, adalah memburukkan kenyataan hidup Fulanah sendiri sebanyak dua kali. Pertama, Fulanah mengklarifikasi kehadiran musibah itu menjadi kenyataan kehidupan yang mana musibah itu tak indah, tak baik, dan tak benar. Kedua, Fulanah membalas berlebihan adalah menghadirkan musibah untuk kedua kalinya, yaitu dengan menciptakan dendam dan dendam pastilah bukan sesuatu yang indah, baik, dan benar menurut keyakinan Fulanah.

Lepas dari siapa yang teraniaya dan siapa yang menganiaya, Fulanah tetap saja telah menghadirkan kenyataan buruk ke dalam hidupnya dengan pemaknaannya tentang kejadian itu sebagai “musibah”. Maka, hal terpenting yang perlu dilakukannya adalah justru meminta maaf kepada diri sendiri atas pemaknaan yang tak indah, tak baik, dan tak benar itu. Semua itu memang tak bisa dihindari kehadirannya sehingga kita “terpaksa” memaknainya sebagai keburukan. Itu sebabnya pula kita mengatakan “tak ada manusia yang sempurna”. Karena, di dalam koleksi makna hidup kita, kita juga tak bisa menghindari label-label buruk yang tak indah, tak baik, dan tak benar di mana setiap saat – kita sadari atau tidak, kita gunakan untuk memaknai (baca: menciptakan) kenyataan kehidupan.

Siapapun yang mengalami perampokan, lepas dari siapa yang dirampok dan siapa yang merampok, tetap saja si korban perampokan berhutang maaf pada diri sendiri, karena telah mengklarifikasi “telah terjadi perampokan di dalam hidup saya, dan itu bukan sesuatu yang indah, baik, dan benar”. Siapa yang mengklarifikasi, siapa yang memaknai, dan siapa yang merasakan? Dan klarifikasi itu, akan menjadi isi dari file memori, dan isi file memori adalah dasar-dasar mengambil keputusan di masa depan. Manusia memang tak sempurna. Keputusan seperti apa yang didasarkan pada informasi yang tak indah, tak baik, dan tak benar, plus ia sama sekali belum berdamai dan menetralisir makna itu?

Kita mungkin bertanya, bagaimana mungkin Beliau yang telah dijamin masuk surga, masih saja meminta ampun kepada Tuhan? Dan ketika ia ditanya, Beliau menjawab dengan lebih membingungkan, “tak bolehkah aku bersyukur?” begitu kata Beliau. Apa yang Beliau mintakan ampun dan apa yang beliau syukuri?
Beliau mensyukuri kesadarannya yang masih mampu memberi makna tentang kenyataan kehidupan. Beliau menyadari bahwa dirinya telah dijamin masuk surga, tapi pada saat yang sama Beliau mengerti bahwa Beliau sendiri masih menghadirkan segala ketidakindahan, ketidakbaikan, dan ketidakbenaran ke dalam kenyataan kehidupannya lewat segala pemaknaan, dengan mengklarifikasi “ada manusia jahiliyah”, “ada yang memusuhi saya”, “kejahatan masih berseliweran”, “kesyirikan merajalela”, dan seterusnya. Dan Beliau, meminta ampun kepada Tuhan dan meminta maaf kepada diri sendiri atas segala pemaknaan yang mengkreasi segala kenyataan hidup itu.

Jika kita kecewa tentang apapun dalam hidup kita, kita punya sedikit hak untuk bereaksi sebagai manusia normal. Lepas dari itu, apa yang akan kita lakukan terkait kenyataan bahwa diri kita sendiri jugalah yang menciptakan kekecewaan itu dan kita menyakini bahwa “kecewa” bukanlah sesuatu yang indah, baik, atau benar?

Maafkan aku wahai diri, aku tak bisa memaknai lain selain “kecewa”, dan aku tahu bahwa kekecewaan kuyakini tidak indah, tak baik, dan tak benar bagimu. Dengan terpaksa kuciptakan kenyataan hidup seperti ini bagimu. Maafkan aku, aku mencintaimu.

Jika engkau memusuhi orang, engkau memusuhi diri sendiri dengan mengklarifikasi (baca: menciptakan) permusuhan di dalam hidup. Bukankah “permusuhan” adalah musuh dari keyakinanmu?
Jika engkau menganiaya orang lain, engkau menganiaya diri sendiri, dengan menciptakan “penganiayaan” di dalam hidup, dan bukankah “penganiayaan” adalah sebentuk aniaya terhadap apa yang engkau yakini?
Jika engkau marah, bukankah dirimu sendiri mungkin marah atas kemarahan itu, sebab kemarahan itu mungkin tidak indah, baik, atau benar?

Jika engkau sinis, bukankah dirimu tak menyukai itu? Buktikan saja, dengan merasakan apa yang engkau rasakan saat orang lain sinis padamu.
Yang baik datang dari Tuhan dan yang buruk dari diri sendiri.
Yang baik dibalas kebaikan oleh Tuhan dan yang buruk akan terkena ke diri sendiri.


Sumber : http://blog.qacomm.com/semua-terpulang-ke-diri-sendiri/
7/20/2012 03:03:00 PM | 0 komentar | Read More

Saling PERCAYA, Pilar KEUTUHAN Rumah Tangga

Written By Unknown on Monday, July 16, 2012 | 7/16/2012 10:06:00 PM

Saling PERCAYA, Pilar KEUTUHAN Rumah Tangga
Percaya atau tidak, kalimat "Aku percaya kepadamu" sampai kini belum luntur keampuhannya. Jika kita lihat kasus perceraian yang demikian marak, salah satu alibi yang terlontar adalah "Sudah tidak lagi ada kecocokan". Nah, ketidakcocokan ini merupakan indikasi bahwa rasa saling percaya sudah lagi tidak melekat dalam diri pasangan.

Ustadzah Salmiah Rambe atau yang biasa disapa Teh Mia, pengasuh rubrik Rumahku Surgaku MQ FM mengatakan bahwa salah satu faktor maraknya perceraian adalah karena tiap pasangan dipenuhi oleh negatif thinking (berpikir negatif). "Banyak pasangan mengalami perceraian karena di antaranya tidak ada rasa saling percaya pada pasangan. Menjadi seorang istri atau menjadi seorang suami adalah amanah yang diberikan oleh Allah Swt. Mestinya, kita selalu menjaga dan menghiasi diri dengan ibadah dan perilaku yang sesuai dengan perintah Allah," ujar Teh Mia kepada MaPI, Rabu (22/2).

Teh Mia melanjutkan bahwa ketika seseorang sudah berpikiran negatif maka yang lahir dari lisannya adalah kata-kata yang negatif pula. Lebih jauh dari itu, perasaan juga akan ikut negatif. Jika sudah begitu, berpikir negatif berikut turuannya akan menjerumuskan pasangan ke jurang perceraian. Namun, jika pasangan lebih banyak husnuzhon kepada Allah, kepada suami, dan kepada diri sendiri (positif thinking), maka itu merupakan langkah awal bagi seseorang untuk berkata positif (positif speaking), berperasaan positif (positif feeling), dan bersikap positif (positif attitude). Hal inilah yang akan melanggengkan dan memuluskan langkah pasangan menuju keluarga yang harmonis.

"Sangat penting untuk bersangka baik kepada Allah, kepada suami, dan kepada diri sendiri. Ingatlah selalu hadits qudsi ana indazonni abdibih, aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku," tutur Teh Mia.

Setelah mampu saling percaya dengan didasari pada positif thinking, ada baiknya kita juga waspada pada variable-variabel yang dapat merusak keutuhan rumah tangga. Dan, berikut beberapa bibit permasalahan rumah tangga yang pada terkikisnya rasa saling percaya antar pasangan suami istri. Bukan tidak mungkin, bibit-bibit persoalan rumah tangga berikut ini berujung pada perselingkuhan yang secara prinsip dapat mengoyak kepercayaan yang seharusnya terbina secara kokoh. Karenanya, kita harus mewaspadai bibit-bibit persoalan berikut ini.

1. Curhat kepada lawan jenis.
Curhat kecil-kecilan kepada lawan jenis adalah sama halnya dengan membuka sedikit demi sedikit pintu perselingkuhan. Terlebih ketika hal yang dicurhatkan adalah mengenai permasalahan rumah tangga. Bahan curhat tidak harus permasalahan besar seperti hubungan pasutri ataupun ekonomi keluarga. Bahan curhat bisa jadi seputar kegemaran istri pada salah satu acara televisi tertentu yang kadang sedikit menggangu, prestasi akademik anak-anak yang menuruh akhir-akhir ini, atau berbagi tips memelihara hewan kesayangan.

Ketika curhat kecil-kecilan ini dilakukan kepada sesama jenis, kenyamanan obrolan yang tercipta kemudian tidak akan keluar dari kontes. Akan tetapi, ketika kita curhat kepada lawan jenis dan menemukan kenyamanan di sana, maka bukan tidak mungkin kenyamanan membicarakan hal-hal kecil tersebut akan menjurus pada obrolan lain yang lebih personal.

2. Membandingkan suami/istri dengan orang lain.
Pada awalnya mungkin kita hanya mengeluh mengenai metode serta cara istri mendidik anak. Ketika hal tersebut dibahas dan diperluas, bukan tidak mungkin perbincangan mengarah pada menjelek-jelekan sang istri. Di sinilah kemudian teman curhat (yang walaupun hanya mengiyakan dan menambahkan ucapan kita) terlihat seperti lebih pintar daripada istri di rumah. Bermula dari kekaguman bisa berlanjut pada ketertarikan yang kalau dipupuk terus menerus akan tumbuh menjadi benih-benih cinta.

Sebelum hal ini terjadi, segera alihkan perhatian kita pada hal lain agar kita tidak terus menerus menelisik kekurangan istri dan membesar-besarkan kelebihan teman curha wanita kita. Alangkah lebih baiknya kalau pada saat seperti ini kita mengingat-ingat kelebihan istri yang telah kita kenal lama dan mulai meragukan kelebihan teman curhat wanita kita yang baru kita kenal dekat akhir-akir ini.

3. Kontak fisik dengan lawan jenis.
Hal yang satu ini harus senantiasa dihindari, tidak peduli sedekat apa pun pertemanan kita dengan lawan jenis. Kita tidak akan pernah tahu chemistry yang akan terbentuk dari kedekatan dan sentuhan fisik kita dengan lawan jenis. Bagi sebagian orang, mungkin sentuhan fisik seperti jabatan tangan, sentuhan di pundak, atau elusan di kepala bukan merupakan satu hal yang perlu diributkan, terlebih dikategorikan sebagai bibit perselingkuhan. Namun demikian, dapatkan kita menjamin bahwa konta fisik tersebut tidak akan bermuatan rasa suka atau semacamnya? Ketika kedua belah pihak sedang merasakan kekosongan dan dari kontak fisik yang terjadi masing-masing merasakan getaran yang dapat mengisi ruang kosong tersebut, dapatkah kita juga menjamin bahwa hal tersebut tidak akan berujung pada perselingkuhan?



Menanggulagi ketiga hal tersebut, kita dapat harus, pertama, selalu ingat keluarga. Inilah gunanya menaruh foto keluarga di meja kerja kita. Lebih dari sekadar pemanis ruang kerja, foto keluarga yang diambil saat terakhir liburan di pantai atau pegunungan akan membuat kita senantiasa teringat bahwa kita adalah seorang suami/istri sekaligus ayah/ibu dari anak-anak yang kita cintai dan mencintai kita. Dan setiap kali kita memandangi foto tersebut, kita akan selalu diingatkan mengenai kebahagiaan yang menanti kita di rumah. 

Mengingat keluarga, secara psikologis juga akan meningkatkan rasa dibutuhkan oleh anggota keluarga. Betapa kita sebagai seorang suami sangat dibutuhkan oleh istri untuk membimbingnya kepada kebaikan. Betapa sebagai seorang ayah kita dibutuhkan oleh anak-anak kita untuk menjadi teladan mereka. Betapa sebagai seorang istri kita dibutuhkan oleh suami untuk mengurus semua keperluan rumah tangga. Dan betapa sebagai seorang ibu kita dibutuhkan oleh anak-anak kita untuk memberikan berbagai pelajaran tentang kehidupan.

Kedua, Self-Upgrade. Di luar sana, di dunia kerja ataupun pergaulannya, suami atau istri kita mendapatkan peningkatan intelektual serta penambahan wawasan setiap hari. Kalau kita tidak meng-up-grade intelektualitas serta wawasan, bukan tidak mungkin pola pikir kita tertinggal jauh sehingga suatu saat ketika berdiskusi dengan suami/istri yang pola pikirnya telah jauh berkembang akan terjadi mis-komunikasi.


Kalau hal ini dibiarkan berlanjut, jangan salahkan suami/istri kita ketika dia tidak lagi mau berdiskusi (tentang berbagai hal) dengan kita dan mencari partner diskusi yang lain. Nah, di sinilah kemudian peluang perselingkuhan muncul ketika partner diskusinya adalah lawan jenis dan dirasa memiliki wawasan serta pengetahuan yang dapat mengimbangi pola pikirnya.

Ketiga, ketahui kelebihan diri. Memang, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang terlahir sempurna, baik secara fisik, mental, ataupun intelektual. Sekuat apapun usaha kita untuk meningkatkan kualitas diri, tentu masih akan didapati kekurangan. Agar kekurangan kita tidak dijadikan peluang pasangan untuk berselingkuh, kita harus meng-cover kekurangan tersebut dengan menunjukkan kelebihan yang kita miliki.

Dan keempat, tingkatkan intensitas serta kualitas komunikasi. Komunikasi adalah salah satu elemen terpenting dalam hubungan antar-personal, terlebih lagi antara dua orang yang terikat dalam pernikahan. Ketidaksepahaman dan kesalahpahaman kecil yang disimpan terus menerus tanpa dikomunikasikan dengan baik, suatu saat akan mengganjal keharmonisan hubungan suami istri.

Di sinilah dibutuhkan kedewasaan serta kelapangan dada masing-masing pihak untuk siap berkomunikasi, bahkan mengenai hal-hal yang tidak disukai yang akan menjadi peluang menganggu hubungan suami istri apabila tidak segera dibereskan.



Sumber : http://www.percikaniman.org/category/artikel-islam/saling-percaya-pilar-keutuhan-rumah-tangga
7/16/2012 10:06:00 PM | 0 komentar | Read More

Tak Ada Kedewasaan yang Instant

Written By Unknown on Sunday, July 8, 2012 | 7/08/2012 06:59:00 PM

Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Makanan dan minuman boleh instant. Tanpa bersusah meracik, setiap orang bisa membuat mie dengan rasa yang sama. Tak ada bedanya kopi bikinan anak kecil dengan hasil seduhan orang dewasa. Sebabnya, mereka sama-sama pakai kopi instant. Tanpa perlu memahami karakter kopi, setiap orang bisa menghidangkan kopi dengan rasa yang cukup enak di lidah karena bahannya instant. Tetapi, samakah kopi instant dengan kopi yang diracik secara khusus oleh koki berpengalaman? Sangat berbeda. Sebagaimana berbeda sekali nilai dan harga sebuah jam tangan yang dibuat oleh tangan seorang ahli yang terampil dan berpengalaman dengan arloji pabrikan yang dalam waktu sehari bisa memproduksi ratusan dan bahkan ribuan keping.

Tak ada kecerdasan instant. Apalagi kedewasaan. Kita mungkin bisa menjadikan seorang anak tiba-tiba tampak hebat karena mampu menggambar, menulis atau membaca dengan mata tertutup. Tetapi sangat berbeda kemampuan menebak, menginderai dan mengenal dengan kemampuan mencerna, memahami, memikirkan dan mengembangkan sebuah konsep. Hari ini, banyak orangtua yang bersibuk-sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.

Sesungguhnya, taraf kemampuan kognitif anak bertingkat-tingkat secara hierarkis. Dan pendidikan berkewajiban mengantarkan setiap anak agar mampu mencapai taraf kognitif yang setinggi-tingginya. Taraf paling rendah adalah pengetahuan. Ini merupakan kemampaun untuk mengetahui, mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia pelajari. Ia bisa mengulang kembali dan menyampaikan kepada orang lain. Di negeri ini, pelajaran di kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan.

Berbagai teknik atau trik yang banyak diperkenalkan (lebih jelasnya: dijual) kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak mencapai kemampuan kognitif terendah. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih-lebih cara berpikir, umumnya hampir tak tersentuh. Tetapi inilah yang paling mudah kita lihat: atraksi kebolehan dan demonstrasi yang menunjukkan perubahan cepat luar biasa. Karena terpukau, kita kemudian kehilangan daya berpikir kritis tatkala para trainer itu mengatakan bahwa trik-trik tersebut membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud bukan karakter. Yang dimaksud hanyalah sebatas kemampuan kognitif. Paling jauh keterampilan sosial yang bernama sopan santun.

Sungguh, sopan santun sangat berbeda dengan karakter. Sebagai keterampilan, sopan santun merupakan bagian dari kecakapan sosial. Sementara karakter lebih banyak berkait dengan kualitas personal pada diri seseorang. Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai (bukan sekedar tahu atau bahkan paham), partisipasi atau kesediaan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan barulah kemudian sampai pada tingkat karakterisasi diri. Yang dimaksud dengan penghayatan nilai adalah kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya. Sedangkan pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya. Sampai pada tingkat ini, karakter masih belum terbentuk. Karakterisasi baru terjadi apabila seseorang telah mampu memilih nilai sebagai gaya hidup (life style) dimana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah lakunya.

Jadi, ada proses panjang sebelum terbentuk dalam diri seseorang. Ia bukan sekedar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang mempengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita. Ia menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan terkait dengan patut atau tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan pengetahuan. Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan afektif. Sedangkan tingkat terendah kemampuan kognitif adalah pengetahuan (knowledge). Ini berarti, sekedar pintar tak berpengaruh pada karakter.

Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman (understanding). Pada tingkat ini –tingkat terendah kedua dalam kemampuan kognitif—anak mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Kemampuan ini bukan semata karena anak belajar, tetapi karena pendidik memang memahamkan. Bukan sekedar menyampaikan sejelas-jelasnya sehingga anak mengingat dengan baik dan mampu menyampaikan kembali secara gamblang. Pendidik perlu secara serius merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka memahami dengan baik apa yang diterangkan.

Yang perlu kita catat, pemahaman tidak berpengaruh terhadap perilaku. Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan perilaku anak-anak kita jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini dengan baik. Sangat berbeda, menghayati dengan memahami.

Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah memahami baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu. Sedangkan keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, meskipun bertentangan dengan pemahamannya.
Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif. Setingkat di atas pemahaman adalah penerapan (aplikasi), yakni kemampuan menggunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata. Ini bukan berurusan dengan keyakinan. Ini erat kaitannya dengan kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Shalat misalnya. Anak bisa melakukan shalat dengan sangat baik bukan karena yakin dan suka, tetapi karena ia memahami betul tata-cara shalat yang baik.

Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Berbekal pemahaman yang baik dan mendalam atas berbagai pengetahuan yang telah ia dapatkan sekaligus (pernah) ia praktikkan, seseorang bisa mencapai kemampuan analisis. Ia  mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang lebih lanjut, ia akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi, yakni sintesis. Ini merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang berarti. Ia mampu menemukan benang merah berbagai pengetahuan yang berserak menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna.

Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian. Bukan menilai orang dari apa yang tampak, melainkan kemampuan memberikan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik bersifat internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai tingkat pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini barangkali lebih dekat dengan makna faqih. Bukan sekedar faham. Dan amat sedikit orang yang mencapai kemampuan ini. Lebih-lebih sekolah –begitu pula orangtua—lebih banyak menyibukkan diri untuk memacu kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan atau paling jauh pemahaman. Kita sudah cukup bangga jika anak mengingat dengan baik, mampu menirukan secara sempurna dan menerangkan secara gamblang pelajaran yang telah mereka terima. Kita telah menganggap jenius anak-anak yang hanya menggunakan kemampuan kognitif terendah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : http://blog.proumedia.co.id/tak-ada-kedewasaan-yang-instant/
7/08/2012 06:59:00 PM | 0 komentar | Read More

Menikah untuk Muliakan Sunnah

BMC
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Semoga Allah Ta’ala ampuni saya.
Baguskan niat dan perbaiki terus-menerus. Selama perjalanan menuju pernikahan, tidak ada bekal yang lebih penting untuk engkau persiapkan melebihi niat dan ‘ilmu. Keduanya saling berkait. Niat akan menentukan nilai dari pernikahan yang akan engkau jalani, bahkan dari pernikahan yang mungkin tidak sempat engkau jalani karena kematian datang lebih cepat daripada pernikahan. Tetapi niatmu yang lurus dan kesediaanmu untuk berbenah mempersiapkan diri menunaikan sunnah Nabi saw. berupa menikah, akan menentukan apa yang akan engkau dapatkan dari Tuhanmu, Allah ‘Azza wa Jalla yang tiada sekutu baginya. Dan tidaklah engkau dapat menata niat dan membaguskan tujuan dengan benar kecuali dengan memahami ilmunya. Ilmu juga sangat penting bagi keberlangsungan pernikahan. Sebaik apa pun niatmu dalam menikah, engkau memerlukan ilmu untuk memasukinya, menjalani dan merawatnya.

Maka, tidak ada yang lebih mendesak untuk aku pesankan kepadamu melebihi niat dan ‘ilmu. Semakin jauh mengarungi pernikahan serta semakin banyak belajar, semakin terasa pula betapa kurangnya bekal yang ada pada diri ini sebelum memasuki pernikahan. Tampaknya sepele, tapi niat amat sering terabaikan sehingga tidak tertata dengan baik. Sangat berbeda antara apa yang kita ucapkan dengan apa yang sungguh-sungguh mendasari dan menggerakkan kita untuk menikah.

Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tidalah Muhammad saw. berbicara kecuali dengan bimbingan dan pengawasan dari Allah‘Azza wa Jalla. Sungguh, Muhammad saw. adalah manusia yang terjaga (ma’shum) sehingga tak akan bertentangan antara perintah dengan tindakannya. Tak ada perintah Allah Ta’ala yang datang kepadanya kecuali beliau shallaLlahu ‘alahi wa sallam laksanakan dengan penuh kesungguhan.

Jika engkau mengingini pernikahan yang penuh barakah, maka ikuti petunjuk manusia yang paling baik petunjuknya, yakni Muhammad Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan apa yang mendatangkan barakah, apa pula yang menjadikan pernikahan sangat besar barakahnya. Mari kita ingat sabda Nabi saw., “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan).” (HR. Al-Hakim).

Perhatikan olehmu: yang paling mudah maharnya. Maka sederhanakanlah olehmu mahar. Perhatikan juga sabda Nabi saw. yang menjadi penegas betapa sederhananya mahar merupakan salah satu bentuk keutamaan. Sabda Nabi saw., “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (maharnya).” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita tentang keutamaan meringankan mahar. Maka janganlah engkau memberat-beratkan diri dengan perkataan sebagian orang yang berkata bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar kepada isterinya dalam jumlah yang amat fantastis. Sebuah tulisan di majalah Islam yang membuat saya merasa sangat sedih bahkan dengan berani berkata bahwa Nabi saw. memberikan mahar senilai 3 milyar rupiah. Ini adalah perkataan yang dapat menyebabkan fitah syubhat dan sekaligus fitnah syahwat; dua sebab kerusakan agama yang amat serius akibatnya bagi iman.

Bersebab halusinasi bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar hingga milyaran rupiah nilainya, seorang akhwat bahkan bersungut-sungut menolak bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah penggembala. Padahal riwayat yang menunjukkan setiap nabi pernah menjadi penggembala adalah shahih. Mereka demikian terpukau dengan ucapan sebagian manusia yang mengatakan bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai menjalankan bisnis di usia 8 tahun. Padahal inilah usia ketika Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berpindah pengasuhan dari kakeknya, Abdul Muthalib, kepada pamannya: Abu Thalib.

Kembali ke soal nikah. Ingatlah nasehat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita karena jika mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (Riwayat Abu Dawud).

Ini merupakan riwayat yang shahih dan bertutur tentang apa yang seharusnya kita perhatikan saat menikah sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah berlebihan dalam memberikan mahar. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata bahwa mahar yang diberikan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melebihi 500 dirham. Berapakah nilainya 500 dirham itu? Ukurlah nilainya saat itu di sana (catat: di sana!), lalu takarlah menurut ukuran sekarang di sana. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz menunjukkan dalam Fatwa-Fatwa Terkini terbitan Pustaka Darul Haq bahwa 500 dirham setara dengan lebih kurang 130 riyal. Jika dirupiahkan, lebih kurang sama dengan Rp 325.000,-.
Nah.

Maka, apakah yang menghalangi kita untuk meringankan mahar jika ini menjadi jalan kebaikan? Bukankah kita menyimak dalam sejarah dan membaca dalam riwayat bagaimana Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada kaum muslimin untuk memudahkan mahar. Ketika seorang laki-laki tak sanggup memberikan mahar dalam bentuk harta berharga, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bahkan bersabda, “Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi” (HR. Bukhari).

Dan ketika cincin yang terbuat dari besi pun tak dapat ditemukan oleh lelaki itu, RasulullahshallaLlahu ‘alaihi wa sallam menikahkan dengan mahar berupa bacaan beberapa ayat Al-Qur’an.
Semoga Allah Ta’ala limpahkan barakah kepadamu dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla kumpulkan kebaikan engkau berdua dalam kebaikan, lalu menghimpunkan engkau bersama orangtua dan keturunanmu di sebaik-baik tempat, yakni surga, bersebab kesungguhanmu untuk melaksanakan sunnah dan keridhaanmu menjalani pernikahan yang amat sederhana. Semoga pula Allah Ta’ala ringankan jalan menuju pernikahan, dekatkan jodoh dan menyegerakan datangnya saat untuk menikah.

Lalu, apa yang harus engkau lakukan jika jodoh tak kunjung datang meski ikhtiyar tak putus-putus engkau lakukan? Bersabarlah dan kemudian bersabarlah dengan sungguh-sungguh. Apa yang Allah Ta’ala takdirkan bagimu akan terjadi, sebagaimana telah tetapnya kematian atas kita. Tidak penting kapan kita mati, yang paling penting adalah bagaimana kita mati. Atas perkara jodoh, penuhilah segala yang menjadi asbab terjadinya pernikahan yang barakah. Jika Allah Ta’ala telah tetapkan bagimu jodoh di dunia, maka kesungguhanmu dalam menetapi apa yang seharusnya engkau lakukan, semoga menjadi asbab Allah Ta’ala limpahkan kebarakahan hidup dan kebarakahan pernikahan bagimu. Adapun jika Allah ‘Azza wa Jalla telah tetapkan tidak adanya kesempatan bagimu untuk menikah, maka kesungguhanmu dalam bersiap tetaplah merupakan kebaikan yang mulia.

Baguskanlah dirimu. Perbaiki akhlakmu. Dan janganlah engkau berputus asa dari rahmat Tuhanmu. Semoga kesungguhanmu membaguskan diri menjadi asbab untuk diperjumpakannya engkau dengan orang yang amat tinggi kemuliaan agama dan akhlaknya. Ingatlah ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nuur, 24: 26).
Renungkanlah!
Melapangkan Hati Sesudah Menikah
Menata niat dan membekali diri dengan ilmu sebelum menikah benar-benar perkara yang sangat penting. Tapi bukan berarti pernikahan menjadi akhir dari keharusan untuk senantiasa berbenah dan menjaga niat. Menata hati tak mengenal kata putus, sebab pada segumpal darah inilah baik dan buruknya diri kita ditentukan. Jika hari ini kita mampu zuhud dan qana’ah, bulan depan belum tentu jika kita tidak gigih menjaga hati. Terlebih ketika berduyun-duyun manusia menyeru kita untuk kaya dan meletakkan kemuliaan pada banyaknya harta. Di antara mereka ada yang merangkai dengan kisah-kisah yang seakan sunnah untuk menguatkan seruannya.
Letak masalahnya bukan pada kekayaan, tetapi pada orientasi kita. Jika kita telah mengalami perubahan orientasi dari akhirat kepada dunia, maka terjadi pula perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kita, termasuk bagaimana kita memandang manusia maupun penampilan. Dari sini, banyak hal bisa terjadi.

Sumber : http://blog.proumedia.co.id/menikah-untuk-muliakan-sunnah/
7/08/2012 06:54:00 PM | 0 komentar | Read More

Jaga Aurat dari Maut

Written By Unknown on Monday, July 2, 2012 | 7/02/2012 03:02:00 PM

Suatu kali, seorang akhwat dengan senyum tak enak berkata, “Mo gimana lagi, ane sebelum pake jilbab udah tinggal sama ipar. Jadi nggak enak aja kalo sekarang dengan dia pake tutupan segala.”

Yang mendengar tentu langsung lemas. Masa’ ketika di luar, dari atas sampai bawah tertutup, giliran di rumah dibuka begitu saja.

Kejadian di atas adalah fakta yang penulis temui sekitar satu tahun lalu—mudah-mudahan akhwat tersebut kini berubah pikiran—dan kenangan itu kembali lagi setelah seorang siswi SMA menanyakan status iparnya pada penulis. Sebelumnya, seseorang juga pernah berkata, saudara ipar adalah mahram karena ikatan perkawinan. Hm, siapa bilang?

“Hindarilah berkhalwat (berduaan) dengan kaum wanita!” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan saudara ipar?” Rasulullah menjawab, “Berkhalwat dengan saudara ipar itu adalah maut!” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).

Rasulullah saw menyebut kata ‘maut’ karena besarnya bahaya yang ditimbulkan dari tindakan berduaan (khalwat). Saudara ipar, dalam kehidupan sehari-hari, memang lebih terkesan seperti keluarga. Statusnya di masyarakat tak beda dengan sepupu yang menurut sebagian orang adalah mahram. Padahal, ipar maupun sepupu (yang berlainan jenis), tanpa sebab tertentu tidak termasuk deretan mahram yang Allah sebutkan dalam al-Quran.

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa [4]: 23).

Juga tidak termasuk golongan orang-orang yang dibolehkan melihat aurat seorang perempuan.

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nuur [24]: 31).

Para ulama mengklasifikasikan mahram berdasarkan sebabnya menjadi 3 golongan (laki-laki sebagai subjek):
  1. Mahram karena nasab
    1. Ibu kandung, nenek, buyut, dst.
    2. Anak perempuan, cucu, dst.
    3. Saudara kandung.
    4. ‘Ammat/bibi (saudara wanita ayah).
    5. Khaalaat/bibi (saudara wanita ibu).
    6. Banatul akh/anak perempuan dari saudara laki-laki.
    7. Banatul ukht/anak perempuan dari saudara perempuan.
  2. Mahram karena mushaharah (besanan)
    1. Ibu dari istri (mertua).
    2. Anak perempuan dari istri (anak tiri).
    3. Istri dari anak laki-laki (menantu).
    4. Istri dari ayah (ibu tiri).
  3. Mahram karena penyusuan
    1. Ibu yang menyusui.
    2. Ibu dari wanita yang menyusui.
    3. Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya.
    4. Anak perempuan dari ibu yang menyusui (saudara sepersusuan).
    5. Saudara perempuan dari suami perempuan yang menyusui.
    6. Saudara perempuan dari ibu yang menyusui.

Selain dari hal-hal yang disebutkan di atas, ada pula mahram yang semata-mata diharamkan menikahinya saja, tapi tidak membuat seorang laki-laki dibolehkan melihat aurat, bepergian berdua, atau berkhalwat dengannya. Mereka adalah: istri orang lain, saudara ipar, perempuan dalam masa iddah (baik dicerai suaminya maupun yang ditinggal wafat), istri yang telah ditalak tiga, istri yang telah dili’an (dicerai dengan cara dilaknat), perempuan dalam keadaan ihram, perempuan budak (padahal mampu menikahi yang merdeka), perempuan pezina, perempuan musyrik, dan perempuan non-Muslim yang bukan kitabiyah.

Sebagai Muslimah dengan al-Quran dan sunnah sebagai pedoman, maka wajib bagi kita menaati aturan di dalam kedua peninggalan Rasul tersebut. Jangan menjadikan pandangan manusia sebagai tolok ukur untuk menjaga aurat. Mereka yang belum paham, sebaiknya diberitahu, bukan dimaklumi dengan melonggarkan syariat yang sudah ditentukan Allah. Karena tidak ada kepatuhan pada siapa pun dalam bermaksiat!


Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/03/19431/jaga-aurat-dari-maut/#ixzz1piv4hvvf


Customer Relation PKPU Bandung
Jl. Gatot Subroto No. 46 B Bandung
Telp. 022-7316764 Hotline 022-76300200
SMS Centre 0812 204 8454
Email : cr.bandung@pkpu.or.id
YM / FB : cr_pkpujabar@yahoo.com
Twitter : @CR_PKPU_Bandung
7/02/2012 03:02:00 PM | 0 komentar | Read More

Presiden PKS: 'Early Warning' buat Semua Partai Islam

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq menilai positif hasil riset yang menyebut partai-partai berbasis massa Islam cenderung ditinggalkan konstituennya. Hasil riset itu, menurut Luthfi, bisa dijadikan evaluasi menghadapi Pemilu 2014.

"Itu bagus, karena itu early warning buat semua partai Islam agar mereka kerja keras. Early warning bahwa selera publik tidak match dengan partai islam," kata Luthfi di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/6/2012).

Sebelumnya, Lembaga Survei Nasional (LSN) menyebut partai berbasis massa Islam cenderung ditinggalkan konstituennya, terutama jika dibandingkan dengan perolehan suara beberapa pemilu sebelumnya. Partai-partai itu mencakup Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Jika pemilu dilakukan sekarang, masing-masing partai itu hanya memperoleh di bawah 5 persen.
Luthfi memprediksi hal itu bisa terjadi lantaran parpol Islam selama ini tak menyentuh persoalan aktual yang dirasakan masyarakat. "Umpamanya masalah pendidikan dan lapangan kerja. Bagaimana sekolah Islam langsung link and match dengan lapangan kerja," kata dia.

Meski demikian, Luthfi mengatakan, masih ada sisa waktu sekitar dua tahun buat parpol Islam untuk memperbaiki. Dia mengaku pihaknya mengambil poin-poin penting hasil survei dari berbagai lembaga survei untuk pembenahan di internal.

"PKS masih yang tertinggi dibanding partai Islam lain," kata Anggota Komisi I itu.

Editor :
Tri Wahono
7/02/2012 02:50:00 PM | 0 komentar | Read More